
Beberapa waktu yang lalu gue berkesempatan kabur
sejenak dari rutinitas yang biasa kami lakukan tiap harinya, kenapa gue bilang
kami? Karena gue nggak nonton sendiri, pada hari itu gue nonton sama
dayang-dayang gue (alias; pacar). Kami kabur bukan menghindari dari masalah
ataupun kegiatan harian kami, melainkan menghabiskan waktu untuk
mengkualitaskan hubungan. Selain bepergian mencari tempat makan baru yang enak
untuk dicicipi, kami juga suka menghabiskan waktu untuk menonton film di
cineplex. Dan pilihan kami waktu itu menonton film ini. Film ini udah nggak
sabar gue tonton karena penasaran pengambaran dari buku ke filmnya bagaimana.
Nggak ada harapan yang terlalu muluk-muluk sebetulnya karena gue juga udah
pernah sekilas baca bukunya walaupun nggak sampai habis dan juga udah pernah lihat
tayangan film ini, dan memang dari buku dan film nya sungguh jauh berbeda
mungkin buku nya susah untuk difilmkan.
Tapi harapan yang udah gue turunkan sedemikian rupa
nggak berhasil ngebuat gue maklum. Bukunya bagus, mahal pula. Trailernya keren,
penggambarannya juga bagus. Tapi bagaimana bisa filmnya diluar ekspektasi gue?
Buat lo yang memang belum nonton, sebaiknya berhenti
baca dari sini. Karena gue nggak ahli dan pintar dalam membuat review sebuah
film, dan dijamin bakal banyak spoiler dalem tulisan gue ini. Buat gue, film
ini punya kesamaan dengan bukunya. Judulnya.
Selain itu? Ceritanya total dibuat baru. Sudut
pandangnya berbeda. Sangat jauh dari bukunya, dasar cerita yang dibuat jelas
menjadi samar di film. Patient Zero misalnya,di buku berasal dari China dan
dalam film jejaknya cuma ditemukan di Korea.
Juga nggak ada lobotomizer, kisah perang kapal selam
armada angkatan laut China, nggak ada operasi transplantasi organ di Brazil,
nggak ada kisah otaku Jepang yang kemudian menjadi seorang samurai.
Bagian-bagian yang gue mau lihat di film itu lenyap.
Cukup
complainnya.
Film ini tetap punya pesona sendiri, meskipun
berbeda dan susah ditemukan.
Bercerita
tentang seorang pensiunan petugas PBB yang dipanggil kembali untuk bertugas,
WWZ betul-betul berjalan lurus saja. Nggak ada twist dan nggak perlu
repot-repot mikir keras mungkin karena nggak sempet mikir. Nafas aja sering
lupa.
Gimana
nggak lupa bernafas, zombie yang jalannya lambat aja udah menyeramkan dan
memacu adrenalin tingkat tinggi, lah yang ini zombie-zombie lari bertaburan kek
lagi ada gempa tabur dimana-mana dengan brutalnya dan nggak ada henti menuju
dimana aja ada sumber suara. Kalau perlu mereka bisa bertumpuk-tumpuk mirip
gerombolan semut sampe bisa nerobos barikade dan beberapa tembok pertahanan
lainnya. Skenarionya dibuat dengan ketegangan yang merata sepanjang film.
Yang
gue liat sih skenarionya beda banget dari bukunya, tapi menyinggung
sedikit-sedikit bagian dari sekian cerita yang ada. Sekilas, nggak begitu
detil, kaya perang nuklir Iran dan Pakistan yang muncul dengan bentuk awan
jamur di pojokan jendela pada scene penerbangan dari Korea ke Israel, dan
zombie yang berasal dari seorang yang udah terinfeksi tetapi diselundupkan
lewat pesawat terbang.
Yang
mendapat cukup banyak ekspose hanya self-isolation Israel bisa dilihat difilm
pada bagian pertengahan cerita. Bagaimana seolah-olah kebijakan membuat tembok
disekeliling Palestina dan mengurung warganya jadi beralasan kuat. Bagi gue lebih
bagian ini terkesan seperti propaganda Israel.
Selebihnya ya kita akan disuguhi banyak adegan Brad
Pitt berlari :-p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar