“Tahu apa kau tentang kehilangan?”
“Kesepian dan kehampaan.”
“Bukan, sesuatu yang lebih sunyi dari kesendirian.
Tahukah?”
“Kupikir kehilangan adalah perasaan sepi di saat
ramai, juga kehampaan tatkala kerinduan hanya berujar tentang damba yang melapuk
dan usang.”
“Kau, kenapa selalu mudah menafsirkan sesuatu dengan
cinta? Sementara banyak hal di dunia ini yang tak selalu terkait dengan cinta.”
“Lalu menurutmu kehilangan itu apa?”
“Aku yang bertanya lebih dulu, kenapa menanyakan
ulang?”
“hmmm...”
“Oke, baiklah. Jangan menggerutu. Sebentar jangan
terburu-buru. Pernahkah kau merasa kehilangan?”
“Pernah, mungkin sering.”
“Seperti apa contohnya?”
“Saat dimana aku harus dengan terpaksa melepas
sebuah kepergian.”
“Hanya itu?”
“Maksudmu? Tak ada perasaan kehilangan selain saat
dimana harus melihat apa yang dulu pernah dimiliki telah jauh melangkah pergi.”
“Benarkan apa kataku, kenapa kau hanya terfokus
menafsirkan sesuatu dengan melibatkan cinta?”
“Jujur saja, aku tak paham obrolan ini”
“Jangan marah dulu. Aku masih ingin bertanya.”
“Apa lagi? Kau bahkan menyangkal jawaban ku.”
“Aku tak menyangkal. Hanya saja, aku heran. Mengapa
setiap pertanyaanku kau kaitan dengan perasaan cinta?”
“Lalu apa? Bukankah kehilangan memang selalu
berkaitan dengan cinta?”
“Memang, tidak salah. Tapi belum tentu benar.
Maksudku, tidak selalu kehilangan itu berujar tentang cinta.”
“Apa maksudmu? Aku belum mengerti.”
“Kehilangan boleh jadi adalah rasa ketidakpedulian.”
“Ketidakpedulian?”
“Ya, kehilangan terbesar adalah kehilangan perasaan
ketidakpeduliaan.”
“hmm..”
“Ketidakpedulianmu terhadap perasaan kehilangan
adalah kehilangan terbesarmu”
“Maksudmu, kehilangan atas kehilangan?”
“Tepat. Betapa banyak dari kita yang begitu acuh
atas kebersamaan. Menampik setiap detak detik waktu yang telah dilalui. Tak
menyadari bahwa setiap langkah yang telah dilewati begitu banyak menciptakan
kenangan. Lalu tanpa bisa menahan, semua kenangan tersebut perlahan menghilang
tanpa sempat mengucap salam perpisahan. Bukankah hari esok selalu lebih dekat
dibanding waktu yang telah lalu? Maka ketidakpedulian pada perasaan kehilangan
itulah kehilangan terbesar.”
“Lalu harus bagaimana?”
“Mudah saja. Ciptakan kenangan terbaik selama hidup.
Antusias dalam setiap kebersamaan. Mensyukuri apa yang dilalui sebagai sebuah
anugerah kehidupan yang perlu dimuliakan. Lalu menyadari, bahwa dalam setiap
kenangan yang terlewat di masa silam adalah pembelajaran yang membantumu bisa
seperti sekarang. Menjaga kenangan sebagaimana rasa senang dalam menikmati
dendang irama nostalgia. Maka dengan demikian, kau akan selalu berusaha
memberikan yang terbaik dalam setiap dentang usia.”
“Aku mengerti.”
“Itulah harapanku.”
“Jadi, sepertinya mulai sekarang aku harus menjaga
waktu dengan lebih baik. Agar setiap masa yang terlewat dapat memberi kenangan
yang apik.”
“Tepat sekali.”
“Terima kasih.”
“Ah, tak perlu berterima kasih. Aku menyukai obrolan
seperti ini.”
“Aku pun begitu.”
“Kapan kau akan memulai?”
“Sekarang setelah selesai aku berbincang denganmu.”
“Baiklah, aku pulang agar kau tak berlama-lama
memulai.”
“Ya, selamat jalan.”
“Terima kasih, jangan takut kehilangan aku. Aku akan
kembali sebelum sempat kau mengucap rindu.”
“Kau bisa saja. Lekas lah pergi, aku tak ingin
menahanmu lebih lama. Aku sayang kamu.”
“Aku pun. Ah iya. Sampai lupa. Apa tak ada pelukan?
Atau kecupan perpisahan?”
“Sudah cukuplah, semua tak sanggup ku lakukan. Ku
harap kau bisa memulai sekarang.”
”Baiklah,
aku pergi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar