Minggu, 20 Oktober 2013

(AKU) masih mengenangnya



 

“Apa kau butuh waktu untuk menyendiri? Mungkin kita terlalu lama atau kau mungkin terlalu sedih, selalu bersama-sama.”

Aku mengenalmu sebagai pria senyum lebar. Sorot mata tajam yang sering aku keluhkan, menegaskan keegosian di wajahmu. Ada tahi lalat di sekitar tangan dan bahu mu, itu yang membuat kita terlihat seperti dua anak manusia yang terpisah lalu dipertemukan oleh tahi lalat dimasing-masing tangan kita. Dulu sering aku menggoda tahi lalat mu,”Itu lalet nya pada eek semua di badan kamu tuh, coba liat. Masa ada tahi lalat nggak kerasa? Penuh tuh sebadan-badan kamu tahi lalatnya, hahaha.” Seketika cubitan ku menyerang pinggang dan perut mu. Sementara kamu terkekeh melihat bahu mu yang penuh tahi lalat, aku hanya bergumam dalam hati begitu bahagianya aku bisa melihat mu tertawa lepas.

Pernah di lain kesempatan giliran kamu menggodaku,”Kamu senyum biar apalah dimengot-mengotin kaya orang struk aja” sembari kamu praktekan di depan ku dan seketika itu jambakan dari kepalan tanganku mendarat di kepalamu. Dan kamu mengaduh merasakan sakit. Aku meminta maaf setelah itu.

Aku masih mengenangnya. Bagaimana keseruan kita kala bercanda. Saling mengejek dan menggoda. Tertawa lepas seolah tak pernah ada beban di pundak. Atau kenangan malam-malam panjang yang pernah kita lewati berdua, berdua kita saling melarung dalam tangis. Menguatkan satu dengan yang lain perihal luka dan beban hidup yang terkadang datang menerkam. Membuat kita terpaksa diam untuk sama-sama mencari solusi penyelesaian. Saling memberi sandaran agar lebih tegar dan berbesar sabar melewati terjal jalanan.

Aku masih mengenangnya. Sorot mata teduhmu yang berubah menjadi merah. Menyala galak karena amarah. Pernah suatu kali aku terjatuh di dalam matamu. Bungkam oleh sebab kemarahanmu atas kelakuanku. Dan aku berusaha sekuat mungkin untuk memperbaiki diri. Tulus meminta maaf agar tak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Air mata mu berderai setelahnya,”Aku nggak marah, aku ngerasa gagal ngedidik kamu karena kamu tanggung jawab aku, semua yang berhubungan dengan kamu pasti aku harus tahu.” Katamu.

Aku masih mengenangnya. Entah siapa yang memulai. Dihari itu aku terdiam, merasa semua apa yang aku lakukan terasa salah dimata mu. Aku mengeluh karena seketika itu kau menyudutkan ku. Seakan tak ada lagi orang mampu membelaku. Dan, tanpa salam kamu pergi pelan-pelan. Hilang bersama gelap malam. Hati meradang mengenang kepergian. Punggung yang pernah saling bersandar akhirnya berjauhan. Membawa serta gurat cerita penuh luka meratapi kehilangan.”Terserah kamu mau seperti apa, begini mungkin lebih baik. Urus saja urusanmu sendiri.” Katamu terakhir kalinya.

Aku masih mengenangnya. Belum mampu untuk lupa. Sebagaimana kerinduan yang tak pernah bosan untuk singgah dalam setiap lamunan tentangmu. 

“Tempo hari, selepas raga ini mengenalmu, aku jadi lupa diri. Semua tentangmu aku abadikan disini.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar